Inii adalah blog q,kuharap blog ini dapat berguna bagi yang membaca nya,THANK YOU

Sabtu, 28 Januari 2012

Gurun Sendiri
Pada sebuah senja kita bertemu dengan secarik lembar ukhuwah
Dulu, dan itu saat kulihat luka menganga di pipimu
Perlahan luka itu mengering, saat kusepuh saban waktu dengan embun kata,
Sahabat, pergimu meranum luka di jiwa
Aku terhampar lagi pada gurun sendiri,
Waktu tak mampu kutanya saat ia menyeretmu jauh
Senyumku mungkin mengering tanpa wajahmu

Sahabat, sudahlah
Inilah fana, yang bersama akan pergi, yang bertemu akan berpisah
Sambutlah ini bilahan rindu,
Sungguh sepiku terlalu, tanpamu

Puisi Merampas Mimpi

dan semua yang ku rangkai dalam satu malam
kini pecah, hilang dalam mimpi
senja yang tak lagi bermain di mataku
kaku jiwa yang terikat pada lelah
entah dari mana datangnya sebutir tawa
tapi itu tawa luka
hancur resah menusuk
aku tetap berlari mengejar pintu mimpi
tersandung...div class="fullpost">
terjatuh bergelimang doa-doa
ratap ku pada bulan yang tak lagi menari
menghiasi mimpi sang pemimpi
bukalah aku pintu mimpi
agar aku bisa menangis mencari air mataku yang hilang
itu mimpiku
jangan kau rampas lagi wahai tangan dengki
dingin panas aku meniti
perih dua telapak kaki
darah
darah mengalir deras di atas mimpi
jauh, masih jauh aku mencari mimpi ku
yang dulu sempat aku titip dalam satu malam
grimispun menangis tak berhenti
lari lagi luka
lesu bermain merangkak dan aku terjatu lagi
kali ini dua kaki lumpuh tak lagi menopang tubuh malang
bersama bayang kupu-kupu biru
menuntun ku
menggenggam jari-jari kebasku
sayap harap rindu
ku tabur doa di mimpi ku
semoga tumbuh subur bunga-bunga mimpi
indah bukan neraka mimpi
aku tersenyum rendah di celah kaki bukit mimpi
terlelap.

puisi

Perjalanan Kehidupan

Karya : Al Fazal Fuadi
Mengusik-ngusik diangan-angan
Menerjang-nerjang ditengah badai
Hidup didunia tak semudah yang kita bayangkan
Butuh usaha dalam keyakinan

Dibawah terik matahari, kita bernaung
Ditengah badai kita mencoba bertahan
Dalam sebuah tekad dan keyakinan

Hidup bagaikan sebuah kapal yang berlayar
Kita tak akan pernah tau
Kapan diterjang ombak
Dan dihantam badai

Yang kita tahu
Hanyalah berlayar dan
Terus berlayar
Hingga sampai ke negeri impian
yaitu kebahagiaan

Yakinlah bahwa tuhan
Akan selalu ada
Di saat kita membutuh

cerpen

Malam Ini, Hujan Turun Lagi

Malam ini, hujan turun lagi. Hari ini malam kelima 10 Maret. Aku menatap rintik-rintik hujan yang turun sambil melamun. Kejadian itu sudah 5 tahun lamanya. Namun, aku tak pernah berhenti menangis bila mengingatnya. Dan seolah ingin menemani dukaku, rintik-rintik hujan selalu turun di malam 10 Maret.

“Sampai kapan kamu menyendiri terus, Nduk? Suara ibu membuyarkan lamunanku. Ini kelima kali ibu menanyakannya. Selalu dengan kalimat yang sama. Aku hanya menatap ibu sekilas, kemudian kembali menatap rintik-rintik hujsn dari balik jendela kamarku. Menangis lagi. Hal yang kulakukan tiap kali ibu menanyakannya.

”Badanmu kurus sekarang. Ibu sering merasa asing denganmu. Lima tahun yang lalu kamu gemuk. Meski dulu ibu sering meledek kamu, tapi sesungguhnya ibu senang melihatmu gemuk begitu.” Ibu masih mengatakan hal itu. Kali ini yang kelima. Dan selalu kujawab dengan mulut terkatup, air mata yang terus meleleh.

“Tahun ini sudah ada 5 pemuda yang ingin melamarmu. Tapi kelimanya kamu tolak, padahal kamu belum tahu pemuda-pemuda yang melamarmu itu seperti apa.”
Hujan agak mereda. Rintik-rintiknya mulai berkurang.

“Soni yang punya bengkel besar. Ibu dengar penghasilannya mencapai 100 juta per bulan. Yang kedua Reza, manager perusahaan. Dia sudah punya mobil pribadi. Yang ketiga Dio. Katanya sih dia bekerja di majalah remaja. Orangnya ganteng dan sepertinya baik. Ibu suka padanya. Yang keempat... kelima....”
Aku tidak pernah mendengarkan kalimat ibu selanjutnya. Dadaku sesak, dan rintik hujan yang masih turun membuat tangisku semakin deras.

Hujan mulai reda. Tangisku sudah habis, hanya sesengukan saja. Kututup jendela kamarku kemudian kuusap sisa air mataku. Jika sudah begitu, biasanya ibu merapikan tempat tidurku kemudian mempersilakan aku tidur, tapi kali ini tidak. Ibu mengganti sprei biru mudaku.

“Sprei biru milikmu sudah kusam warnanya. Kamu menggunakannya terus selama 5 tahun ini. Jadi kali ini ibu menggantinya dengan warna merah muda. Mudah-mudahan kamu suka.” Aku menggeleng. “Tidak, ibu. Kumohon, sprei biru itu saja.”

Ibu menatap mataku. “Bukankah merah muda warna kesukaaanmu, Nduk?’ aku menggeleng lagi. “Tidak, ibu. Tidak semenjak 5 tahun lalu.”

Ibu menitikkan air mata. Memeluk dan mengusap rambutku yang bergelombang. “Rambutmu panjang sekali, Nduk. Sudah hampir melewati pinggang.apa kamu tidak ingin mengguntingnya sedikit?’ tanya ibu sambil terisak. Aku hanya menggeleng.

“Besok ibu akan membelikan sprei baru untukmu. Warna biru biru muda. Jadi kamu tidak usah bersedih lagi ya. Sekarang, tidurlah.” Ibu berkata lembut seraya mengusap air matanya.

Aku melepaskan pelukan ibu. “Terima kasih, Bu.” Ibu tersenyum, lalu menutup pintu kamarku. Hening. Tinggal aku yang berbaring di tempat tidur dengan hati sedih. Aku selalu tidak ingin tidur sebelum jam 00.00 lewat. Karena bagiku, malam ini adalah malam yang berkesan untukku dan Felka. Meski ini malam kelima 10 Maret, tapi rasanya masih sama. Aku yakin Felka selalu menemaniku di malam 10 Maret. Jadi, aku sama sekali tidak boleh melewatkannya. Di malam ini aku’bertemu’ dengannya. Kami akan melepas rindu, menyanyikan lagu favorit kami dan memandang ribuan bintang di langit.

***

Pukul 04.45
Aku terbangun mendengar suara adzan yang bersahutan memecah keheningan pagi. Dan seperti dikomando, ayam jantan milik tetanggaku berkokok riang. Suaranya yang lantang selalu dapat membangunkanku saat terkadang aku sangat mengantuk, enggan bangun untuk sholat shubuh karena seringkali suara adzan yang merdu membuatku terbuai untuk kembali tidur.

Aku ingin menangis. Aku tertidur. Ah, pasti Felka kecewa karena saat dia datang semalam, aku sudah tidur. Tapi, kenapa dia tidak membangunkanku? Kalau sudah begini aku jadi sebal. Felka selau tidak mau membangunkanku. Padahal aku sudah bilang padanya agar bila aku tertidur aku dibangunkan saja.

“Nduk, cepatlah sholat, nanti waktunya keburu habis...” Aku tersentak mendengar teriakan ibu. Aku segera mengambil wudhu, kemudian sholat. Setelah sholat, hatiku merasa damai, sejuk... lalu tersadar. Felka sudah meninggal. Ya Allah, ampuni hamba yang belum bisa menghapus bayangnya, rintihku dalam hati.
Ibu membuka pintu kamarku. “Sudah selesai sholat, Nduk?” aku mengangguk. “kalau begitu, mandilah. Sarapan sudah siap. Ibu buatkan ikan gurame saus asam kesukaanmu.” Aku mengangguk lagi.

***

Ikan gurame saus asam buatan ibu sangat enak. Tidak kalah dengan buatan restoran. Ssebenarnya aku tidak begitu menyukai ikan. Tapi Felka sangat menyukai ikan, terutama ikan gurame. Lama-kelamaan aku menyukainya juga. Ah, Felka... lagi lagi aku membayangkannya.
“Kamu melamun, Nduk?’
Aku tersentak. “Tidak, Bu.”
Ibu terlihat sedih.

“Ibu kenapa sedih?’ tanyaku lirih. Aku tahu sebenarnya ini peertanyaan konyol. Tentu saja ibu sedih melihatku melamun membayangkan Felka. “Ibu, maafkan aku...” ucapku menyesal.

“Nduk, sudah lama kamu terlarut dalam kesedihan. Ibu mengerti, kamu sangat menyayangi Felka sehingga kamu begitu terpukul atas kematiannya. Tapi, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu sangat sedih melihatmu begini, ibu rindu kamu yang dulu...” suara ibu tercekat. Aku hanya bisa menangis mendengar kalimat menyayat dari ibu.

“Felka juga pasti sedih melihatmu begini, Nduk.”.
Air mataku semakin deras bergulir. “Ibu, maafkan Elsi. Tapi sampai saat ini hati Elsi belum bisa melupakan Felka. Elsi tidak mau menyakiti hati laki-laki lain dengan berpura-pura mencintainya...”
“Ibu mengerti. Tapi bagaimana kamu bisa mencintai lelaki lain kalau kamu tidak pernah mencoba membuka hatimu, Nduk?”
Aku hanya bisa terus menangis menjawab pertanyaan ibu. “Maafkan aku, ibu...” hanya itu yang bisa kuucap.

***

9 Maret 2005
Elsi sangat gembira. Setelah 3 tahun di Lampung, akhirnya ibu mengajaknya pulang ke kampung halamannya, Kediri, Jawa Timur. Kata ibu, kakek sudah semakin memprihatinkan kondisinya. Makanya ibu berniat menjenguk. Kebetulan Elsi sedang libur kuliah, jadi ia bisa sekalian liburan.

“Elsi... oleh-olehnya sudah dipak belum?” teriak ibu dari belakang.
“Sudah, Bu. Beres...”
“Satu jam lagi kita berangkat. Kamu siap-siap gih.”
“Iya, Bu...” ucap Elsi riang.
Setelah ganti baju dan mengenakan jilbab, Elsi menelepon Felka.
“Assalamu’alaikum...” sahutnya.
“Waalaikumsalam...” jawab Elsi riang.
“Ada apa, sayang? Kok kayaknya seneng banget?”
Elsi tersenyum. “Gimana nggak seneng. Ini aku mau pulang ke Kediri!”
“Sayang, jangan becanda deh. Aku tahu kamu kangen, tapi jangan becanda gini dong. Masa tiba-tiba kamu bilang mau ke Kediri?”
“Aku nggak becanda, Felka. Aku sama ibu mau jenguk kakek. Sejam lagi kita berangkat.”
“Kamu serius?”
“Serius banget malah.”
“Aku seneng banget. Aku janji besok akan menemui kamu. Kita akan mewujudkan mimpi-mimpi kita selama ini, sayang. Alhamdulillah...”
“Iya, Fel. Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu.”
“Aku juga, sayang.”
“Mmm... Felka sayang aku berangkat dulu ya. Sampai ketemu...”
“Oke, sayang. Sampai ketemu. Miss you...”
“Miss you too...”

***

Sepanjang perjalanan, Elsi tak henti-hentinya bersenandung. Ia membayangkan pertemuan indahnya dengan Felka. Ya, Felka. Seseorang yang ia sayang. Ia belum pernah bertemu dengan Felka. Mereka berkenalan via handphone. Soni, teman SMA Elsi yang memberikan nomornya pada Felka. Kebetulan sekarang Soni satu universitas dengan Felka, bahkan serumah. Kata Soni, waktu itu Felka patah hati setelah dikhianati Rista, pacarnya dan dia butuh seseorang untuk membuatnya melupakan Rista.

Soni mengenalkan Felka pada Elsi karena menurutnya Elsi baik, pintar & pengertian. Bisa membuat Felka kembali bersemangat. Sebaliknya, Felka bisa membuka pikiran Elsi tentang dunia ini karena Elsi suka menyendiri, kutu buku, kuper. Biar gaul, begitu candaan Soni.

Dan memang pada akhirnya mereka cocok. Meskipun berbeda sifat, tapi pemikiran mereka sama. Felka memang anak band, anak motor, gaul. Tapi ia punya pemikiram serius tentang masa depannya. Felka juga dewasa. Ia selalu bisa ngemong Elsi yang kadang-kadang manja.

Elsi tak henti-hentinya tersenyum membayangkan itu semua. Perkenalan yang indah dengan Felka. Felka yang selalu bisa membuatnya bahagia. Felka yang gentle tapi lembut, yang mau menrima Elsi apa adanya. Elsi selalu ingat sajak sederhana yang diungkapkan Felka saat mereka berkomitmen untuk menjalin hubungan. Waktu itu Elsi masih ragu. Ia bertanya pada Felka, bagaimana bisa Felka jatuh cinta padanya padahal mereka belum pernah bertemu. Dan Felka hanya menjawab pertanyaan Elsi dengan sajak sederhana yang menurut Elsi sangat indah, yang mampu memupus keraguannya tentang cinta mereka:

Mengapa cinta ada?
Karena ia tahu
Kau dan aku tercipta
Ah, Felka... begitu sempurnanya dirimu bagiku, gumam Elsi.

***

Kediri, sore hari.
Jalanan sangat ramai, orang-orang berlalu lalang memadati terminal tamanan kota kediri. Elsi menatap sekeliling. Mengamati tiap sudut terminal yang 3 tahun lalu menjadi saksi kepindahannya ke Lampung. Terminal ini tidak banyak berubah, hanya saja semakin ramai.
“Mas Awan mau jemput jam berapa, Bu?” tanya Elsi sambil meregangkan otot. Tiga puluh jam di bus cukup membuat badannya kaku.
“Sebentar lagi sampai. Dia sudah jalan,” jawab ibu yang juga sedang meregangkan otot. Dan benar, 5 menit kemudian mas Awan, kakakku datang.

“Tambah gemuk aja kamu,” ucapnya ketika pertama kali melihat Elsi.
“Huuu... pertama ketemu bukannya muji malah ngledek,” protes Elsi.
“Kalau aku bilang kamu kurus malah fitnah jadinya, “ lanjut mas Awan.
Elsi merengut. “Bilang aku cantik kek.”

“Hahaha....” mas Awan tertawa ngakak. “Cantik diliat dari menara Eiffel.”
Elsi memukul lengan mas Awan. “Dasar sirik. Bilang aja kamu iri dengan kecakepanku.”
“Hahaha...” mas Awan tertawa lagi.

Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat kedua anaknya. Sejak kecil mereka memang begitu. Selalu berantem, saling meledek, hampir tak pernah memuji. Tetapi sebenarnya mereka saling menyayangi, dan begitulah cara mengungkapkannya.

“Ngomong-ngomong... mana cukup bonceng aku sama ibu kalau naik motor. Barang- barangnya gimana?’ tanyaku.

“Yeee...sapa yang mau boncengin kamu? Naik becak lah, sekalian sama barang-barangmu yang seabrek.”
Aku merengut. “Ya udah. Lagian aku juga ogah diboncengin sama kamu,” Elsi menjulurkan lidah, balas meledek.
“Baguslah kalo gitu...” Mas Awan nyengir. “Aku sama ibu jalan dulu ya. Kamu masih hafal jalan ke rumah kan?”
“Ya masih lah. Kamu pikir aku udah pikun apa?”
“Ya, sapa tahu. Hahaha....” mas Awan ngeloyor pergi.
Becak yang ditumpangi Elsi berjalan perlahan. Pengemudinya seorang bapak paruh baya berusia sekitar 50 tahun. Nada dering HP-nya berbunyi. Incoming call, dari Felka.

“Halo, sayang...” jawabku riang.
“Idih, bukannya salam...” ucap Felka.
“Hehehe... maaf. Aku terlalu gembira. “Assalamu’alaikum, Felka Windu Naresa...”
“Waalaikumsalam, Elsi Winda Mei Lista...”
Elsi dan Felka tertawa riang.
“Nanti malam aku ke rumahmu ya. Kamu udah sampe, kan?”
“Udah. Mmm... tapi kenapa nggak besok pagi aja?”
“Aku udah nggak sabar, sayang.”
“Iya, aku ngerti. Tapi...”
“Kamu kenapa? Kok bimbang gitu?”
Elsi terdiam. Ah, kenapa perasaanku mendadak jadi tidak enak? Ya Allah, semoga ini bukan pertanda buruk, doanya dalam hati.

“Sayang...”
“Oh, iya. Mmm... ya udah terserah kamu. Maksudku besok pagi biar kita bisa berduaan lebih lama,” jawabku.
“Ya besok pagi aku ke rumahmu lagi, sayang.”
“Oh, gitu. Aku seneng banget dengernya.”
“Ya dah, sampe nanti sayang...”
“Ya, sampe nanti...”
10 Maret 2005, pukul 19.30
Elsi sudah selesai berdandan. Ia tersenyum bahagia. Setelah menyematkan bros biru muda bermotif bunga yang senada dengan jilbabnya, ia keluar kamar menuju teras. Menanti kedatangan Felka.
“Duileh... tumben dandan. Mau kemana kamu?’ mas Awan mulai jahil.
“Mau tahu aja.” jawab Elsi cuek.

“Alah, paling juga kencan sama Dono tetangga sebelah yang bencong itu...” mas Awan meledek.
Biasanya Elsi akan balas meledek atau bahkan memukul mas Awan, tapi kali ini tidak. Elsi terlalu bahagia, hingga enggan menanggapi ledekan mas Awan.
“Kamu ini ngledekin adikmu terus. Mending bantu ibu bagiin oleh-oleh buat saudara, sekalian kita ke rumah kakek.”

Mas Awan merengut, lalu beranjak membantu ibu.
“Nduk, ibu sama mas ke rumah kakek dulu. Besok kamu menyusul ya. Ibu mau menginap di rumah kakek.”
“Iya, Bu. Salam buat kakek.”

Pukul 20.15
Elsi mulai resah. Ia ingin menelepon Felka, tapi urung. Mungkin Felka masih di jalan, ia takut mengganggu konsentrasi Felka. Ia beranjak dari kursi menuju ke arah jalan. Ia memandang langit. Ya Allah, kenapa tiba-tiba langit mendung? Perasaanya mulai tidak enak. Resah, khawatir, takut, semua jadi satu. Ya Allah, hamba mohon lindungilah Felka...

***

10 Maret 2005, pukul 19.30
Felka tersenyum bahagia. Ia telah selesai berdandan. Rasanya ia tak sabar untuk bertemu dengan Elsi.
“Mama... aku pergi dulu ya...”
“Mau kemana kamu? Tumben pamit. Biasanya langsung ngeloyor. Dan... tunggu. Wajah kamu sumringah sekali.”
Felka tersenyum. “Aku mau menemui bidadariku, Ma.”
“Apa dia benar-benar spesial bagimu? Kamu tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.”
“Iya, Ma. Dia sangat spesial.”

Mama Felka mengamati wajah anaknya. Pipinya tembem. Felka gemuk sekarang. Tapi untunglah Felka tinggi, jadi badannya masih terlihat bagus & keren. Mama Felka terdiam. Selama ini ia jarang memperhatikan Felka. Menjadi single parent yang bekerja sebagai manager perusahaan membuatnya sibuk bekerja.
“Mama kok melamun?” tegur Felka..

Mama Felka tersadar. “Oh, tidak. Mama hanya ingin mengamati wajahmu. Sudah lama mama tidak memperhatikanmu. Mama terlalu sibuk. Maafkan mama...”
Felka memeluk mamanya. “Iya, Ma. Felka ngerti. Maafin Felka juga ya Ma...”
Mama Felka melepaskan pelukan. Mengamati wajah anaknya lebih dalam lagi. Seolah ini terakhir kalinya ia bertemu dengan anaknya.

“Ma... mama kenapa?”
“Entahlah. Mendadak mama jadi kangen sama kamu.”
Feklka tersenyum. Ia menatap wajah cantik mamanya.
“Setelah menemui Elsi, aku akan segera pulang Ma. Mama jangan sedih ya.”
“Iya, hati-hati di jalan sayang, sampaikan salam mama buat Elsi.”
“Oke, Ma. Bye...”

***

Pukul 20.30
Hujan deras disertai petir menghiasi malam duka itu. Felka tidak datang menemui Elsi. Yang hadir hanyalah jilbab biru muda berlumuran darah yang diantarkan mama Felka dengan mata sembab. Jilbab biru muda yang akan diberikan kepada Elsi ikut terpental bersama tubuh Felka ketika kecelakaan maut itu terjadi. Sebelum nafas terakhir Felka berhembus, Felka menatap jilbab berlumuran darah dan mengucap nama Elsi.
Malam itu mulut Elsi terkatup. Tubuhnya seperti tak bernyawa. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menangis. Pikirannya kosong. Senyum lenyap dari wajahnya. Hatinya terlalu sedih menerima kenyataan ini.

***

Setelah kepergian Felka, Elsi hanya fokus pada kuliah dan pekerjaannya sebagai cerpenis. Ia enggan memikirkan lelaki lain, karena hatinya sudah hilang seiring dengan kepergian Felka.

***

10 Maret 2006
Malam ini hujan turun lagi. Elsi menatap rintik hujan dari balik jendela kamarnya. Dan malam-malam 10 Maret selanjutnya juga begitu. Felka tetap tertanam di hatinya, tak tergantikan oleh siapapun. Ia benci warna merah muda karena Felka tidak menyukai warna itu. Felka menyukai warna biru muda... begitupun Elsi.

cerpen

Aku di 17 Tahun
Tepat pukul 00.00 WIB.

‘’Happy B’dAy Gezy, SLamt Ultah yAch yaNg k 17,’’ kulihat rangkaian kata di layar ponselku. Rasa ngantuk yang masih bertengger di kepalaku, memaksaku membuka kelopak mataku untuk mengetik ucapan terima kasih kepada si pengirim. Kemudian kucoba untuk melanjutkan tidurku. Lagi-lagi getar ponselku tak berniat untuk diam. Kucoba meraih ponselku lagi, kulihat tertulis 1 massage, namun tak kuhiraukan. Selang beberapa menit getarnya membuat aku harus membuka mata. Sekarang sudah tertulis 7 massage.
Oke, sekarang aku bangun, batinku.

Kubuka satu-persatu pesan yang masuk, semua berisi pesan yang sama. Sekarang ngantuk di mataku telah pergi. Dengan gesit jari-jariku menekan keyped untuk membalas SMS tersebut. Setelah itu kuletakkan kembali ponselku di samping bantalku.
‘’Masih ada yang ingat hari ulang tahunku,’’ ucapku bangga.

Sekarang aku 17 tahun, semoga semua berjalan dengan baik dan semoga papa cepat sembuh, sambungku sambil berdoa dalam hati dan mencoba untuk tidur kembali. Lima menit, 30 menit dan sekarang sudah pukul 02.00 WIB, dari semua SMS yang masuk ke handphone-ku, tak satu pun tertulis pesan atau telepon dari pacarku, Deri.

Kucoba untuk tenang, mungkin dia dia ingin membuat kejutan batinku. Deri pacar pertamaku, hari ini di hari ulang tahunku, hubungan kami juga genap 3 bulan. Aku mencoba berpikir semua yang baik tentang dia. Mataku terpejam tapi tidak tidur, otakku membuat rangkaian cerita yang manis. Kucoba mengulang waktu setahun yang lalu di ingatanku. Sesuatu yang harus aku perbaiki dengan bertambahnya umurku. Sesekali bibirku tersenyum ketika ingatanku tiba di waktu Deri berhasil membuatku kagum dan akhirnya tiga bulan lalu dia resmi menjadi pacarku.
Ini ulang tahun pertamaku saat aku punya pacar. Kata orang biasanya yang bakal ngasih selamat pasti pacar, tapi kok enggak kayak cerita-cerita yang kudengar ya, ucapku kecewa pada diri sendiri.

Lama menunggu membuat otakku lelah berpikir dengan imajinasi ku sendiri, aku pun tidur. Aku tak mempedulikan lagi getar di handphone-ku.
Saat sinar mentari pagi menyusup ke celah-celah jendela kamarku, matakupun terbuka. Aku bangun dari tidurku, kulihat ponsel,Tertulis 11 kali miscall dan 8 SMS. Semua dari teman-temanku, tidak ada yang dari Deri. Tapi aku masih tetap berpikir positif tentangnya. Kuambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarku, dan kulangkahkan kaki untuk membersihkan tubuhku.

Liburan semester ini kuputuskan untuk tidak keluar kota. kondisi papa sedang tidak baik. Tiga bulan terakhir ini papa sering bolak-balik ke rumah sakit. Jantung papa tidak lagi bersahabat dengan obat-obat yang diberikan dokter. Terkadang papa terbaring di rumah sakit beberapa hari. Namun sekarang ini papa sudah jauh lebih baik. Terkadang air mataku tak henti keluar jika papa menginap di rumah sakit. Aku ingin papa bersamaku terus, teriakku setiap kali kulihat papa sedang tertidur.

Di rumah ini aku anak tunggal. Aku juga baru menyelesaikan pendidikanku di bangku SMA. Mama sibuk bekerja untuk menstabilkan ekonomi keluargaku dengan kondisi papa seperti sekarang.

Baju kaos putih, celana hitam panjang, sepatu kets dan tas sandang hitam menjadi pilihanku untuk pergi bersama teman-teman ku. Hari ini aku berniat mentraktir kedua sahabatku, Wulan dan Veny. Mereka teman SMA-ku. Hampir beberapa pekan tidak bertemu, banyak cerita yang menjadikan kami lupa waktu. Termasuk ingatanku tentang Deri.

Dari awal aku memang terbiasa sendiri, terkadang meskipun Deri sudah menyandang predikat sebagai pacarku, namun waktuku banyak bersama teman-temanku. Aku sayang dia dan dia sayang aku. Tidak ada masalah dan kami mempunyai kegiatan masing-masing. Kami hanya banyak menggunakan komunikasi melalui handpone dan jarang untuk pergi berdua.

Nonton, makan dan hangout berjam-jam membuat aku, Wulan dan Veny lupa akan jam yang menunjukan pukul lima sore. Aku sudah minta izin kepada Mama. Mama sudah menginzinkan aku pergi karena hari ini aku ulang tahun, apa lagi hari ini hari Ahad. Papa dan mama sudah sepakat hari ini ingin di rumah, mereka tidak ingin ikut bersamaku.

‘’Lan, Ven cabut yuk, dah sore,’’ ajakku sambil meraba isi tasku untuk mengabil handpone, aku panik. Kukeluarkan semua isi tasku tapi ponselku tak ada.

‘’Tinggal di rumah kali Gez,’’ sambung Veny mencoba menenangkan ku.

‘’Kayaknya iya, aku lupa masukin ke dalam tasku tadi,’’ sambungku pasrah ketika aku mencoba mengingat sebelum aku pergi tadi.
‘’Gez, Deri mana?’’ suara Wulan menyadarkanku tentang Deri.

‘’Enggak tahu juga, tadi malam dia enggak nelpon aku, SMS pun tidak. Padahal hari ini aku jadian sama dia juga genap 3 bulan,’’ jawabku sambil menghabiskan makanan di tanganku. Mungkin dia sibuk, atau ponselnya lagi error kali, sambungku lagi.
‘’Kamu yakin nggak ada apa-apa?’’ Sahut Veny dengan muka serius. “Hari ini ulang tahunmu, hari ini juga hari jadian kalian, dia tidak ada sama sekali nemui kamu?”

Aku diam, aku merasa semua baik-baik saja. Mungkin Deri lagi sibuk atau apalah. Ini cuma hari ulang tahun dan hari jadian kami. Bukan hal yang besar, dunia juga tidak bakal runtuh kalau dia lupa dengan hari ini. Aku Cuma nyengir mendengar ucapan Veny.

‘’Gezi, kamu terlalu cuek dengannya, kau sayang dia, tapi kamu tidak perhatian sama dia, nanti nyesel baru tahu rasa,’’ celoteh Wulan panjang-lebar padaku.

Sepanjang perjalanan pulang aku mencoba memutar kembali rekaman ucapan Wulan dan Veny tadi. Aku tidak bisa setenang tadi, rasa cemas hilang- timbul pada diriku.

Tiba di depan rumah, kulihat rumahku sepi. Pintu pun terkunci. Papa dan Mama tidak ada di rumah.

‘’Duh pada ke mana ya, mana handphone-ku tinggal di dalam lagi,” ucapku kesal karena kecerobohanku.

‘’Gezi, mamamu nyuruh ke rumah sakit. Papamu jantungnya kumat lagi. Di rumah sakit biasa tempat papamu berobat,’’ teriak tante Eli dari balik pagar rumahku.

Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam mobilku dan bergegas ke rumah sakit. Jantungku tidak beraturan, cemasku bertambah, wajah papa melekat di ingatanku.

Hentakan kakiku membuat mata di sekitar ruangan rumah sakit melihat ke arahku. Kakiku berhenti seratus meter dari tempat Mama duduk di salah satu kamar rumah sakit. Air mata mama keluar. Wajah mama pucat. Banyak saudara papa dan mama berkumpul di ruangan. Kakiku seperti terikat beban untuk melangkah ke kerumunan keluargaku. Mama sadar akan kedatanganku. Dia menghampiriku dan memelukku erat, erat sekali. Semua mata kasihan tertuju pada kami. Dari kamar keluar sebuah tempat tidur. Di sana sedang tertidur wajah orang yang aku sayangi tertutup kain putih. Kulepaskan pelukan mama dari tubuhku. Kulihat dengan dekat wajah pria yang tertidur itu, air mataku mengalir tak henti.
Kepalaku pusing, nafasku tak beraturan, semua terlihat gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

***
Sekarang aku tinggal berdua dengan mama. Kepergian papa sangat terasa bagi kami berdua. Aku pingsan saat di rumah sakit waktu itu. Saat aku sadar, papa sudah dimandikan dan akan di kuburkan. Seperti mimpi paling buruk melihat papa ditimbun dengan tanah, Papa sendiri di sana.
‘’Sayang kita harus ikhlas papa pergi,’’ ucap mama saat masuk ke kamarku.

‘’Iya Ma, aku ikhlas semoga papa dapat tempat yang layang di sisi Yang Maha Kuasa,’’ jawabku seadanya.
Ini ada kado dari Deri, mama lupa bilang sama kamu. Kemarin sebelum papa dibawa kerumah sakit, Deri datang ke sini. Dia juga cari kamu, HP kamu tinggal saat itu jadi mama tidak bisa memberi tahu kamu. Dia pun langsung pamit sama mama,’’ ucap mama sambil memberikan bungkusan pink berukuran besar ketanganku.

‘’Iya, makasih Ma,’’ jawabku singkat pada mama.
Mama pun keluar meninggalkan aku dan bungkusan itu. Sadar akan kebera dan handphone-ku yang sudah tidakku lihat selama sepekan ini, tanganku mencar-cari ponsel itu. Akhirnya kutemukan di selipan ujung kasur tempat tidurku. Tertulis 40 SMS dan 113 kali panggilan tak terjawab. Kubuka panggilan tak terjawab, kulihat deretan nama teman-teman SMA-ku. Deri juga salah satuya.

Dia menghubungiku 43 kali. Kulihat waktu panggilanya. Ini kan ketika aku lagi pergi sama Wulan dan Veny, ucapku pada diri sendiri.
Kubaca juga pesan yang masuk, tertulis selamat ulang tahun dan pesan ucapan duka cita dari teman-temanku. Kuhentikan jemari saatku menemukan pesan dari Deri, ada ucapan selamat ulang tahun dan dan pesan yang membuatku teringat pada kata Wulan dan Veny. Entar nyesal baru tau, ucap mereka saat itu.

Kubuka kado dari Deri yang terletak di depanku. Tak kupedulikan lagi ponselku. Kotak besar yang terbungkus kertas kado pink itu berisi bantal bola basket dan bola basket asli serta sepasang baju basket yang sangat aku inginkan dari dulu.

Ingatanku kembali saat Deri bilang suka padaku di lapangan basket ketika aku sedang latihan. Di selipan baju kutemukan kertas bertuliskan, Dear Gezi, gadis pemain basketku. Kubaca satu demi satu kalimat yag ada di kertas itu. Mataku berhenti pada kalimat Aku sayang kamu, tapi aku merasa kamu tidak sayang padaku. Semoga dengan bertambahnya umur kamu, kamu lebih dewasa untuk menghargai sesuatu yang penting di hidupmu, khususnya perasaan orang-orang yang menyayangi kamu.

cerpen

Kesepian

Cerpen Kesepian, cerpen kesepian, cerpen sepi, Cerpen tentang Kesepian
Hujan mengawali pagi hari dimana Anne memulai segalanya. Anne membuka matanya perlahan dan berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Ia bergegas untuk berangkat sekolah.
Anne keluar dari kamarnya dan menuju keluar rumah.

“mama..!! Anne berangkat sekolah ya!” kata Anne dengan tergesa-gesa. Belum sempat ibunya menjawab, Anne sudah meninggalkan rumahnya.

Setibanya Anne di pintu gerbang sekolah, ia bahagia karna melihat pemandangan yang selalu membuatnya tersenyum senang. Anne melihat Ricko, temannya. Sudah hampir satu bulan Anne selalu memerhatikan Ricko tapi Ricko tidak menunjukkan reaksi apapun.

“hari ini gue punya kabar baik buat diri gue sendiri! Pertama, gue gak terlambat dateng ke sekolah. Kedua, pagi-pagi gini walaupun ujan.. gue bisa ngeliat Ricko!” kata Anne pada dirinya sendiri.
Anne sebenarnya ingin berlama-lama di depan pintu gerbang sekolah dan memerhatikan Ricko. Tetapi, ia harus segera masuk kelas.

***

Sesampainya Anne di kelas, ia melihat pemandangan biasa yang membuatnya bosan. Teman-temannya sedang bertukar pikiran alias contek-mencontek. Anne tidak berminat untuk berpartisipasi dalam contek-mencontek itu.

“Ke! Lo belum ngerjain pr ini? Ya’ampun! Kemana aja sih lo?” kata Anne pada teman sebangkunya, Keila.
“belum An! Lo udah?” Tanya Keila.
“udahlah! Lo gimana sih! Itu pr ipa kan? Itu kan udah dari seminggu yang lalu! Kenapa gak dikerjain di rumah? Haduuh!”
“males gue ah! Eh,, An! Sini deh duduk” Keila menarik Anne sampai Anne duduk di kursinya.
“ada apaan sih Ke? Mesti duduk segala!” Anne bingung.
“tapi,, gue takut lo nangis kalo dengernya!” wajah Keila prihatin.
“kenapa sih? Gue gak nangis deh! Janji!”
“Ricko,, jadian sama Rena!”
“oh,, cuma itu?” wajah Anne berubah tapi Anne mencoba untuk berpura-pura tersenyum dan tidak peduli.
“lo gapapa?” Tanya Keila.
“ya,, gue gapapa! Emangnya apa hubungannya gue sama Ricko?” Anne berlagak tidak peduli.

Keila tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Keila tahu yang Anne katakan untuk menguatkan hatinya.
‘jadi,, Ricko,, huuft.. yaudahlah!’ batin Anne.
Anne berjalan keluar kelas meninggalkan Keila yang kembali sibuk mengerjakan pr. Anne melihat rintikan air hujan dari depan kelasnya. Anne melihat dengan jelas ada Ricko di seberang. Tak terasa air mata Anne mengalir.

***

Siang hari yang terik menghapus lembabnya hujan tadi pagi. Anne yang terbaring di tempat tidurnya tidak bisa menahan tangisnya.

Anne bangkit dan berjalan menuju lemari kamarnya. Ia membuka lemarinya dan mengambil sapu-tangan yang ia rajut sendiri. Di sapu-tangan itu tertera nama Ricko. Anne mencoba untuk merusak sapu-tangan itu tapi tidak bisa. Anne mengambil gunting dan mencabik-cabik sapu-tangan itu.

“percuma! Percuma gue ngerajut nama Ricko sebagus apapun! Bahkan percuma kalo gue ngerajut namanya di hati gue! semua itu gak akan bisa ngerubah kenyataan kalo dia bukan buat gue!” kata Anne.
Anne memejamkan matanya. Anne berharap semua ini mimpi dan Anne ingin ia melupakan semua yang pernah ia harapkan. Selama ini, Anne selalu berharap bisa menjadi sesuatu yang special bagi Ricko. Tapi, kini semua itu menjadi sia-sia.

“kalo di otak gue ada tombol delete,, pasti semua harapan gue tentang Ricko udah ilang sekarang!” Anne mencoba tersenyum.

“gue gak boleh cengeng! Gue masih punya sahabat,, gue punya keluarga yang sayang sama gue! apa yang kurang dari hidup gue ini? Udah lengkap menurut gue! gue gak butuh yang lain lagi!” Anne benar-benar tersenyum sekarang. Ia memikirkan hal-hal yang selalu membuatnya bahagia.

Anne keluar dari kamarnya dan melihat ada sahabat-sahabatnya menunggu di ruang tamu. Anne bingung karna sebelumnya ia tidak punya janji dengan sahabatnya.
“kalian di sini?” Anne bingung.

“iya.. gue pikir, lo lagi butuh temen jadi, gue ajak yang lain ke sini juga!” kata Keila.
“tapi kok, tadi gue gak di panggil? Kenapa kalian gak manggil gue?” Tanya Anne.
“ehm,, kita takut ganggu kamu An.. jadi kita tunggu aja di sini!” kata Lisya.
Anne menghampiri sahabat-sahabatnya itu. Anne duduk di samping Gita. Gita tersenyum menatap Anne.
“kalian,, ehm,, huft,, jujur aja! Kalian ke sini karna kasihan ya sama gue?” tanya Anne.
“kita gak kasihan kok sama lo! Kita Cuma prihatin An!” kata Gita.
“sama aja Git!” Anne menunduk.
“kita tau kamu butuh temen! Jadi kita ada di sini! Kita akan selalu ada kalo kamu butuhin An!” kata Lisya.

Anne tersenyum senang mendengar pernyataan sahabatnya yang terdengar sangat peduli dengannya.
“makasih ya guys! Kalian baik banget!”
Sahabat-sahabat Anne tersenyum senang melihat Anne tersenyum. Mereka menghabiskan siang hari bersama-sama. Dan mereka berjanji satu-sama lain untuk akan terus bersama wlaupun apapun yang terjadi.

***

Dua bulan telah berlalu, Anne termenung sendirian di perpustakaan sekolahnya yang sepi. Ia begitu bingung dengan perasaan yang ia rasakan. Anne mengambil kertas dan pensil yang ada di dalam tas-nya. Anne mulai menulis apa yang ia rasakan karna ia sulit untuk mengungkapkannya secara lisan.

Aku punya segalanya yang aku inginkan,,
Aku mendapat semua kasih sayang yang aku butuhkan,,
Aku juga tidak sendirian!
Aku mempunyai banyak sahabat yang peduli padaku,
Aku juga mempunyai keluarga yang menyayangiku..
Tapi perasaanku lain dengan keadaan ini..
Rasanya aneh! Sulit untuk aku ungkapkan!
Aku merasa hampa! Kosong!
Aku harus menyebut ini apa?

Anne melipat kertasnya dan menyingkirkannya dari meja membacanya di perpustakaan.
“mungkin kesepian!” suara dari belakang mengejutkan Anne.
Anne menoleh dan sangat terkejut. Tepat di belakang Anne, ada Ricko yang sedang membawa kertas yang Anne singkirkan tadi. Ricko mengambil kursi di sebelah Anne dan mendudukinya.

“boleh duduk di sini kan gue?” Tanya Ricko. Anne hanya bisa mengangguk karna bingung.
“tadi,, lo bilang apa?” Tanya Anne.
“gue bilang,, mungkin lo kesepian?”
“gak mungkin! Karna gue punya banyak sahabat!” kata Anne.
“dari luar semua orang juga gak akan keliatan kesepian! Tapi,, mungkin hati lo yang kesepian!” kata Ricko sambil memberikan senyuman manis.

“terus,, apa yang bisa buat gue gak kesepian?” Tanya Anne.
“menurut lo?? Jelas gue gak tau! Cuma lo sendiri yang tau apa yang lo mau!” kata Ricko. Ricko menatap mata Anne dengan tajam.

“ehm,, entahlah!” Anne mengalihkan pandangannya.
“tau gak sih An! Baru sekarang gue berani ngomong sama lo!” kata Ricko mencoba menatap Anne.
“emangnya kenapa? Emangnya sebelumya lo takut sama gue?” Anne bingung atas pernyataan Ricko.
Ricko tersenyum dan berkata “iya! Gue takut jantung gue copot kalo ngomong sama lo! Tapi,, ternyata gak! jantung gue cuma berdetak lebih cepet!”
“apaan sih lo Ricko! Oh,, iya! Bukannya lo pacaran sama Rena ya?” Tanya Anne.
“udah lama banget kali!” kata Ricko.
“sekarang masih?”
“yup!”
‘kalo lo masih pacaran sama Rena,, kenapa harus ngomong jantung mau copot segala coba?’ batin Anne.
“oh iya,, Anne! Gue suka sama lo!” kata Ricko.
“maksud lo apa sih Ricko?” Anne jadi kesal dengan sikap Ricko.
“gue suka sama lo! Gue mau lo jadi sahabat gue karna gue udah lama ngincer lo jadi orang yang special buat gue!” kata Ricko.
“maksudnya?”
“kalo lo mau,, lo bisa jadi orang yang sangat special bagi gue! ‘SAHABAT’ lo mau kan jadi sahabat gue? please…!” Ricko memohon sampai ia berlutut di hadapan Anne.
“haha,, lebay banget sih! Pastinya gue mau jadi sahabat lo! Tapi,, lo harus janji! Lo harus bantuin gue nemuin obat kesepian gue!” kata Anne.

“gak perlu repot kok! Obat kesepian lo itu kan gue!” Ricko membanggakan dirinya.
Anne tersenyum mendengarkan pernyataan Ricko.
‘mungkin,, ini udah takdir! Dan gue seneng banget bisa sahabatan sama Ricko! Selama ini,, gue berharap bisa jadi sesuatu yang special buat Ricko! Dan,, sekarang tercapai! Gue ngerti,, sahabat lebih special dari apapun itu! sekarang semuanya berjalan sempurna’ batin Anne.

Selasa, 24 Januari 2012

aku yang tersakiti

betapa indahnya waktu kita bersama
kita saling berbagi cerita cinta
bahkan suka duka kita alami berdua

teringat saat ke peluk tubuhmu
ku belai rambutmu
ku kecup keningmu

kini kemesraan itu tinggalang sebuah kenangan yang mungkin pahit rasanya tuk ku kenang
setelah kau pergi tinggalkan cinta kita hanya demi dya

mungkin aku tak sempurna dari dya
tapi aku punya cinta
mungkin aku tak lebih kaya dari dya
karna memang aku keluarga sederhana

kini kau bahagia bersama dya
dan baru ku sadari ternyata kau PENGHIANAT CINTA

puisi

Kamu manis sekali
Kutimang dengan dendang
Kutimang dengan merdu sayang
Tangisanmu adalah jazz yang biasa kudengar waktu muda
Ayo nak bangun sebantar lagi kamu sudah pasti bisa berjalan
Ayo nak katakan terima kasih
Ayo sayang buang sampah ditempatnya
buuu ruuung, kalo yang terbang itu namanya burung
Cerdas karena asi sudah pasti kolostrum ciptaanNYA
Makanan sehat terhidang tiap pagi
Kamu ada cinta dan rasaku
trimakasih cinta
Bahasa keriputku sudah datang
Gantian waktunya kau rawat aku
Aku pipis disini memang karena aku tak menyadarinya
Jangan lupa doamu kunanti wajibnya kelak anakku sayang

Selasa, 17 Januari 2012

“Give your smile to Everyone
but give your love for only one person”

“Berikanlah senyum pada semua orang
tetapi berikanlah cintamu kepada seorang saja”

Selasa, 10 Januari 2012

                                              Mendengarkan Cerita
      Angin Tajam sekali.kelam menyebulungi terletak doyong itu.dinginmengepa.di tengah kemurungan suasana ituada hidup di dalam teratakyang ada cahayanya.teratak itu hanya mempunyai satu ruanagan.tidak ada sekat-sekatnya.mejanya persis di tengahdengan sebuah kursi panjang bamboo.di sudut tengara,lantai daripada tanah:becek di sekitar tempat sebuah gentong berdiri.pada sudut itu di sisipkan 3 buah piring seng dan sebuah sendok yg kekuning-kuningan.pada sudut barat daya sebuah peti ukuran 1-1/2 1/2m kubik yg terbuka: sebuah peti beras yg dalam nya putih tapi kosong,hanya ad kutu-kutu yg berkeliaran tak tentu tujuan.didekat nya ada sebuah perapian yg tidak ada apinya.ada dua potong cabang yg di tusuk kan kedalam lubang nya.di atasnya ad kendil hitam yg kosong.agak jauh sedikit ada sebuah pengki yg bamboo nya sudah busuk.isi nya rumah bekicot yg pecah-pecah,dagingnya sudah hilang.
       Lampu yg terbuat dari botol pomade dengan sumbu dan minyak,menerangi segenap sudut.disana ada sebuah bale-bale juga doyong yang dihampiri tikar yg lubang nya sebesar kepala manusia.di atas bale-bale itu lah mbok kromo mengeloni atun,anak nya yg berumur 5 thn.Dan ibunya menceritakan dongeng timun mas,anak gadis sepeti atun yg melarikan diri dari kejaran “buto ijo” dgan membawa 3 benda sakti,yg dilemparkan,berupa menjadi rintangan yg menghambat dan akhir nya membinasakan raksasa galak itu.dan akhir cerita timun mas kawin dengan pangeran negri nya.Maka atun puaslah sejurus lamanya megenengkan makanan dan minuman yg enak-enak yg di hidangkan pada pesta perkawinan timun mas.dan atun sangat gembira mendegarkan cerita dari ibunya itu.